MUA'ALLIM ASWAJA

MUA'ALLIM ASWAJA
MI.I'ANATUTHALIBIN ISLAMIC ELEMENTARY SCHOOL

KAPITA SELEKTA

KAPITA SELEKTA
BEBAS BIAYA OPERASIONAL

10/24/2014

MARI KENALI SEKTE ISLAM



 BERKOMITMEN 1 GOLONGAN DARI 72 GOLONGAN SEKTE ISLAM DI DUNIA 

Kalau anda seorang Muslim di Indonesia, kemudian ditanya: ”Anda itu mengikuti aliran Islam apa?”. Saya rasa umumnya akan menjawab, ”Ahlu Sunnah (wal Jamaah)”, atau malah bingung tidak mengetahui… aliran mana, yang jelas saya beragama Islam titik. Dalam buku ”Aliran Aliran Dalam Islam” karangan Ahmad Sahidin, anda akan dapat mengetahui bahwa di Dunia ini ternyata ada banyak aliran-Aliran dalam Agama Islam termasuk sempalan-sempalannya.
Organisasi massa dengan basis keagamaan seperti Muhammadiyah atapun Persis, yang dalam dunia politik praktis melahirkan partai PAN dan PKS(?), ternyata inspirasinya lahir dari aliran Wahabi. Seperti apa dan bagaimana Aliran Wahabi itu? Selain Wahabi secara garis besarnya dikenal pula beberapa aliran seperti Khawarij, Syi’ah, Murji’ah, Jabariyah, Qodariyah, Mu’tazilah Asy’ariyah, Maturidiyah, dan Ahlu Sunnah.
Mengapa bisa muncul aliran-aliran itu ? Menurut riwayat di buku tersebut dikisahkan dimulainya setelah Nabi Muhammad saw wafat pada tanggal 24 Mei 632 M (versi lain 13 Rabiul Awal 11 H/633 M). Siapa yang menjadi Khalifah(pemimpin umat Islam) pengganti Rasulullah? Atas usulan Umar bin Khatab lalu ditunjuklah Abu Bakar dalam Balai Saqifah, sebagai Khalifah I demi menjaga persatuan antara Kaum Muhajirin dan Anshar yang kadang konflik. Boleh jadi pemilihan ini berdasarkan atas azas Senioritas, tanpa mengikutsertakan perwakilan dari Keluarga Nabi (Ahlulbait) seperti Fathimah dan Ali Bin Abu Tholib karena sedang berkabung dan mengurus jenazah Nabi Muhammad saw.
Saat Abu Bakar menjadi khalifah, ”Roda pemerintahan” tidak berjalan mulus, banyak menghadapi peperangan (antar Kabilah?). Menurut sejarawan, Abu Bakar menderita sakit-sakitan akibat diracun oleh bangsawan Arab ketika diadakan perjamuan bersama. Dalam kondisi sakit, Abu Bakar akhirnya menunjuk Umar Bin Khatab sebagai Khalifah II. (Kalau dalam peristilahan perpolitikan kekinian, sistem ini menyerupai pendelegasian atau pelimpahan wewenang). Ijtihad yang dilakukan pada zaman Kalifah Umar antara lain, penanggalan Kalender Hijriah dan menyerahkan urusan ”Administrasi Negara” kepada orang-orang Romawi(yang belum masuk Islam) dan pada masa ini mulai dilarangnya nikah Mut’ah (sirri).
Pada masa jabatannya, Khalifah Umar pun masih menghadapi beberapa peperangan, sampai suatu ketika mendapat luka berat akibat tikaman orang Persia yang bernama Fairus. Melihat kondisi seperti ini, Khalifah Umar diminta oleh tokoh-tokoh masyarakat pada waktu itu untuk segera mencari penggantinya. Kemudian Umar memberikan rekomendasi agar memilih salah satu di antara Utsman atau Abdurahman bin Auf untuk dijadikan Khalifah. Untuk memilihnya maka diadakan Sidang Pemilihan yang dihadiri oleh enam orang(perwakilan?) yang telah ditunjuk pula oleh Umar, yaitu Abdurahman bin Auf, Saad bin Abi Waqqas, Thalhah bin Ubaidullah, Utsman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, dan Zubair bin Awwam. Keenam orang itu akhirnya memilih Utsman dari Bani Umayyah. (Sistem pemilihan ini zaman sekarang menyerupai sistem demokrasi perwakilan). Di buku lain, ”Dialog Mazhab”, diceritakan bahwa Utsman hanya dipilih oleh tiga orang saja, artinya pimpinan dipilih dengan suara terbanyak.
Pada masa jabatannya, Khalifah Utsman dalam urusan ”roda pemerintahan” lebih banyak merekrut saudara-saudaranya seperti Marwan bin Hakam dan Muawiyah bin Abu Sufyan. Sedangkan dalam ”tradisi” keagamaan, berhasil membuat tradisi baru : menambahkan ’ash-shalatu kairum minannaum” dalam azan subuh, dan mengumandangkan azan dua kali dalam shalat Jum’at, serta mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu standar yang disebut Mushaf Utsmani. Kebijakan Utsman dalam urusan menjalankan ”roda pemerintahan” yang lebih mengutamakan keluarga terdekatnya , mengundang kemarahan kaum Muslim yang bersal dari kalangan Mustad’afin seperti Abu Dzar dan Ammar bin Yassir serta kaum Yahudi yang diacuhkan keberadaannya. Akhirnya menimbulkan pemberontakan yang mengakibatkan meninggalnya Utsman bin Affan. Wafatnya khalifah ketiga ini mengantarkan Ali bin Abu Thalib menjadi Khalifah yang keempat pada tahun 35 Hijriah atau tahun 657 Masehi. Selama kurun waktu 24 tahun, dari periode 633 Masehi sampai 657 Masehi, ternyata telah terjadi 4 kali pergantian kepemimpinan. Pada masa ini Amirul Mukminin Ali banyak melakukan gerakan spiritual dan pembaharuan Islam.
Namun Ali juga banyak mengalami tantangan serta makar dari mereka-mereka yang tidak menghendaki Ali sebagai Khalifah Islam keempat. Puncaknya, terjadilah apa yang didalam sejarah disebut perang Jamal dekat Basrah, Ali bin Abu Thalib melawan Thalhah dan Zubair serta Aisyah binti Abu Bakar yang didukung keluarga Muaywiyah.
Selesai perang Jamal, Ali harus menghadapi aksi makar dari Muawiyah bin Abu Sufyan yang menuntut agar segera menindak terhadap pelaku pembunuhan Utsman bin Affan dan meminta Ali lengser dari jabatan khalifah. Makar ini muncul karena sebelumnya Ali memecat Muawiyah dari jabatan Gubernur Syria. Menghadapi teror yang dilakukan Muawiyah, Ali beserta pasukan memeranginya di daerah Siffin, Irak. Sebelum peperangan berlangsung Ali mengutus Jarir untuk berunding dengan Muawiyah. Dalam perundingan itu Muawiyah meminta agar Ali lengser dan segera dibentuk majelis syura untuk memilih kalifah baru. Namun tuntutan itu tidak dipenuhi Ali. Kemudian Ali mengirim lagi utusan yang terdiri dari Syabats Aibi, At Tamimi, Ali Hatim, Yazid Qais, namun pihak Muawiyah tetap menginginkan tuntutan seperti apa yang diajukan pada perundingan terdahulu.
Akibat tidak ada kesepakatan akhirnya terjadilah perang itu. Dalam pertempuran itu pihak Muawiyah mulai melemah dan mendekati kekalahan. Menyadari posisi semakin terdesak, penasehat Muawiyah yang bernama Amr bin Ash menyarankan untuk melakukan peundingan dengan terlebih dahulu mengangkat lembaran mushaf Al Qur’an.
Melihat pasukan Muawiyah mengangkat mushaf Al-qur’an, sebagian pengikut Ali terpengaruh sehingga memintanya agar menerima tawaran takhim(bentuk perundingan dengan membentuk dewan atau majelis sidang yang diwakili oleh masing-masing pihak).
Ali menyadari bahwa itu hanya merupakan tipu muslihat saja. Namun sebagian pasukan Ali terpengaruh oleh tawaran takhim, malah mendesak dan mengancam akan mempelakukan Ali seperti apa yang terjadi pada Utsman bin Affan.
Dalam perundingan takhim itu, atas dasar senioritas, Abu Musa menjadi orang pertama yang naik ke Mimbar kemudian menurunkan Ali dari tampuk khalifah Islam. Kemudian, Amr langsung mengukuhkan Muawiyah sebagai Khalifah Islam selanjutnya.
Para pengikut Ali banyak yang kecewa dan mengutuknya atas keputusan itu. Mereka meminta Ali untuk membatalkan hasil tahkim tersebut dan memeranginya kembali. Namun Ali tidak menghiraukan permintaan tersebut. Pengikut Ali yang kecewa itu kemudian keluar dari pasukan barisan Ali dan membuat kelompok sendiri yang dikenal dengan sebutan kaum Khawarij.
Dari menelisik perjalanan sejarah di atas nampak bahwa timbulnya perpecahan atau konflik yang terjadi itu diakibatkan oleh murni persoalan politik atau ”perebutan” kekuasaan atau wilayah dan sepertinya tidak ada sangkut pautnya secara signifikan dengan perihal ”keagamaan/teologi/ketuhanan”. Ada beberapa hal yang menjadi pertanyaan yaitu mengapa Khalifah Ali bin Abu Thalib tidak meneruskan dan memaksakan peperangan dengan Muawiyah? Apakah hal ini mengindikasikan bahwa ”domain” politik dan ”domain” keagamaan itu mempunyai titik fokus yang berbeda.
Bagaimana pula dengan munculnya aliran-aliran Syi’ah, Wahabi, Murjiah, Jabariyah dan Muntazilah dan Ahlu SunnahTentang Islam akan terpecah menjadi banyak golongan 
“Akan ada segolongan umatku yang tetap atas Kebenaran sampai Hari Kiamat dan mereka tetap atas Kebenaran itu.” HR. Bukhari dan Muslim.
Rasulullah Saw lewat riwayat Jabir Ibnu Abdullah bersabda : 
“ Akan ada generasi penerus dari umatku yang akan memperjuangkan yang haq, kamu akan mengetahui mereka nanti pada hari kiamat, dan kemudian Isa bin Maryam akan datang, dan orang-orang akan berkata, “Wahai Isa, pimpinlah jamaa’ah (sholat), ia akan berkata, “Tidak, kamu memimpin satu sama lain, Allah memberikan kehormatan pada umat ini (Islam) bahwa tidak seorang pun akan memimpin mereka kecuali Rasulullah SAW dan orang-orang mereka sendiri.”

Hadis tentang sejumlah 73 golongan yang terpecah dalam Islam 
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Orang-orang Yahudi terpecah kedalam 71 atau 72 golongan, demikian juga orang-orang Nasrani, dan umatku akan terbagi kedalam 73 golongan.” HR. Sunan Abu Daud.
Dalam sebuah kesempatan, Muawiyah bin Abu Sofyan berdiri dan memberikan khutbah dan dalam khutbahnya diriwayatkan bahwa dia berkata, “Rasulullah SAW bangkit dan memberikan khutbah, dalam khutbahnya beliau berkata, 'Millah ini akan terbagi ke dalam 73 golongan, seluruhnya akan masuk neraka, (hanya) satu yang masuk surga, mereka itu Al-Jamaa’ah, Al-Jamaa’ah. Dan dari kalangan umatku akan ada golongan yang mengikuti hawa nafsunya, seperti anjing mengikuti tuannya, sampai hawa nafsunya itu tidak menyisakan anggota tubuh, daging, urat nadi (pembuluh darah) maupun tulang kecuali semua mengikuti hawa nafsunya.” HR. Sunan Abu Daud.
Dari Auf bin Malik, dia berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda:"Yahudi telah berpecah menjadi 71 golongan, satu golongan di surga dan 70 golongan di neraka. Dan Nashara telah berpecah belah menjadi 72 golongan, 71 golongan di neraka dan satu di surga. Dan demi Allah yang jiwa Muhammad ada dalam tangan-Nya umatku ini pasti akan berpecah belah menjadi 73 golongan, satu golongan di surga dan 72 golongan di neraka." Lalu beliau ditanya: "Wahai Rasulullah siapakah mereka ?" Beliau menjawab: "Al Jamaah." HR Sunan Ibnu Majah.
Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Orang-orang Bani Israil akan terpecah menjadi 71 golongan dan umatku akan terpecah kedalam 73 golongan, seluruhnya akan masuk neraka, kecuali satu, yaitu Al-Jamaa’ah.” HR. Sunan Ibnu Majah.
“Bahwasannya bani Israel telah berfirqah sebanyak 72 firqah dan akan berfirqah umatku sebanyak 73 firqah, semuanya akan masuk Neraka kecuali satu.”  Sahabat-sahabat yang mendengar ucapan ini bertanya: “Siapakah yang satu itu Ya Rasulullah?”  Nabi menjawab: ” Yang satu itu ialah orang yang berpegang sebagai peganganku dan pegangan sahabat-sahabatku.” HR Imam Tirmizi.
Abdullah Ibnu Amru meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda : “Umatku akan menyerupai Bani Israil selangkah demi selangkah. Bahkan jika seseorang dari mereka menyetubuhi ibunya secara terang-terangan, seseorang dari umatku juga akan mengikutinya. Kaum Bani Israil terpecah menjadi 72 golongan. Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, seluruhnya akan masuk neraka, hanya satu yang masuk surga.” Kami (para shahabat) bertanya, “Yang mana yang selamat ?” Rasulullah Saw menjawab, “ Yang mengikutiku dan para shahabatku.” HR Imam Tirmizi.
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw bersabda:  “Orang-orang Yahudi terbagi dalam 71 golongan atau 72 golongan dan Nasrani pun demikian. Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan.” HR Imam Tirmizi.
Diriwayatkan oleh Imam Thabrani, ”Demi Tuhan yang memegang jiwa Muhammad di tangan-Nya, akan berpecah umatku sebanyak 73 firqah, yang satu masuk Syurga dan yang lain masuk Neraka.” Bertanya para Sahabat: “Siapakah (yang tidak masuk Neraka) itu Ya Rasulullah?” Nabi menjawab: “Ahlussunnah wal Jamaah.” 
Mu’awiyah Ibnu Abu Sofyan meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda :  “Ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) dalam masalah agamanya terbagi menjadi 72 golongan dan dari umat ini (Islam) akan terbagi menjadi 73 golongan, seluruhnya masuk neraka, satu golongan yang akan masuk surga, mereka itu Al-Jamaa’ah, Al-Jamaa’ah. Dan akan ada dari umatku yang mengikuti hawa nasfsunya seperti anjing mengikuti tuannya, sampai hawa nafsunya itu tidak menyisakan anggota tubuh, daging, pembuluh darah, maupun tulang kecuali semua mengikuti hawa nafsunya. Wahai orang Arab! Jika kamu tidak bangkit dan mengikuti apa yang dibawa Nabimu…” HR.Musnad Imam Ahmad.

Umat Islam terpecah menjadi 7 golongan besar yaitu:
1. Mu'tazilah, yaitu kaum yang mengagungkan akal pikiran dan bersifat filosofis, aliran ini  dicetuskan oleh Washil bin Atho (700-750 M) salah seorang murid Hasan Al Basri.
Mu’tazilah memiliki 5 ajaran utama, yakni :
  1. Tauhid. Mereka berpendapat :
    • Sifat Allah ialah dzatNya itu sendiri.
    • al-Qur'an ialah makhluk.
    • Allah di alam akhirat kelak tak terlihat mata manusia. Yang terjangkau mata manusia bukanlah Ia.
  2. Keadilan-Nya. Mereka berpendapat bahwa Allah SWT akan memberi imbalan pada manusia sesuai perbuatannya.
  3. Janji dan ancaman. Mereka berpendapat Allah takkan ingkar janji: memberi pahala pada muslimin yang baik dan memberi siksa pada muslimin yang jahat.
  4. Posisi di antara 2 posisi. Ini dicetuskan Wasil bin Atha  yang membuatnya berpisah dari gurunya, bahwa mukmin berdosa besar, statusnya di antara mukmin dan kafir, yakni fasik.
  5. Amar ma’ruf (tuntutan berbuat baik) dan nahi munkar (mencegah perbuatan yang tercela). Ini lebih banyak berkaitan dengan hukum/fikih.
Aliran Mu’tazilah berpendapat dalam masalah qada dan qadar, bahwa manusia sendirilah yang menciptakan perbuatannya. Manusia dihisab berdasarkan perbuatannya, sebab ia sendirilah yang menciptakannya.
Golongan Mu'tazilah pecah menjadi 20 golongan.

2. Syiah, Pendiri Syiah, Abdullah Bin Saba pun Diusir oleh Sayyidina Ali,Radiyallahu a’nhu

Apa yang Anda ketahui tentang pendiri Syiah: Abdullah bin Saba? Seorang Yahudi dari Yaman, Arabia, abad ketujuh, yang menetap di Madinah dan memeluk Islam—yang pada beberapa bagian sejarah, keislamannya sangat dipertanyakan.
Setelah mengkritik buruknya administrasi Kalifah Ustman, ia dibuang dari ibukota. Kemudian ia pergi ke Mesir, di mana ia mendirikan sebuah sekte anti-Usman, untuk mempromosikan kepentingan Ali. Mengetahui ia memperoleh pengaruh yang besar di situ, mengingat Ali adalah keponakan Rasulullah. Padahal, bahkan Ali sendiri pun mengusirnya ke Madain.
Setelah Ali wafat, Abdullah bin Saba terus-menerus menghembuskan isyu kepada orang-orang bahwa Ali tidak mati, tapi masih hidup, dan tidak pernah terbunuh. Ia menghembuskan kabar bahwa sebagian dari sifat Ketuhanan ada dalam diri Ali, dan bahwa setelah waktu tertentu ia akan kembali untuk memerintah bumi dengan adil.
Untuk mengacaukan Islam, Yahudi menyusun rencana untuk menambah dan menghapus hal-hal dari keyakinan Islam yang murni, Abdullah bin Saba memainkan peran penting dalam konspirasi ini, dan selama berabad-abad kita telah menyaksikan manifestasi dari distorsi bid’ah dalam ajaran Syiah.
Sejarah juga mencatat bahwa Syiah menghina agama Islam, dan menyatakan bahwa mereka adalah musuh nomor satu Muslim. Mereka sepenuhnya bekerja sama dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani dalam menghancurkan Iraq dan Afghanistan. Dalam semua sejarah Islam, Syiah selalu saja menikam Islam dari belakang.
Syiah Ali, Sebaik-baik Makhluk


Pada tafsir Tabari, jilid 30 hal. 171 diriwayatkan dari Ibnu Hamid mengatakan bahwa, Isa bin Farqad dari Abil Jarud dari Muhammadi bin Ali, Rasulullah saww ketika ditanya siapakah khairul bariyyah itu, beliau saww menjawab,:”Hum anta, wa syi’atuka….Engkau ya Ali dan Syiahmu ( pengikutmu)”. Sementara riwayat lain menyebutkan, Jabir bin Abdullah Anshari ra berkata ketika ayat ‘khairul bariyyah’ turun, Nabi saww menghadap kepada Ali as dan berkata, “Hum anta, wa syi’atuka, taridu ‘alayya wa syi’atuka radhiina mardiyyiina, (maksud dari khairul bariyyah) adalah kamu (Ali) dan pengikutmu, di hari kiamat kamu dan syiahmu masuk bersama saya dalam keadaan Allah ridha kepadamu, dan kamu ridha kepada Allah.” Riwayat ini terdapat dalam kitab Syawahid at Tanzil, oleh Imam Al-Hakim An-Naisyaburi, pada jilid 2 hal. 360.

Sungguh orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhan-nya.” (Qs. Al-Bayyinah [98]: 7-8)
Berkenaan dengan ayat di atas, kita memfokuskan pembicaraan pada kata-kata, khairul bariyyah, sebaik-baik makhluk. Bariyyah berasal dari kata baraa yang artinya ciptaan. Karenanya kita mengenal Allah SWT dengan sebutan Al-Barii yang artinya khaliq atau pencipta dan makhluk atau ciptaan-Nya disebut, Bariyyah. Pendapat lain mengatakan, Bariyyah, berasal dari kata baryan (meraut), seperti pada kalimat baraitul qalam, saya meraut pensil. Karena itulah makhluk disebut juga bariyyah, karena Allah SWT lewat firman-Nya, meraut atau membentuk ciptaannya dalam bentuk yang berbeda-beda, sebagaimana misalnya pabrik yang memproduksi pensil dalam bentuk yang bermacam-macam.
Untuk lebih dalam menelisik makna khairul bariyyah, kita bisa memulainya dari ayat sebelumnya pada surah yang sama. Pada ayat surah Al-Bayyinah, Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya orang-orang kafir dari kalangan ahli kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahanam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” Pada ayat ini Allah SWT berbicara mengenai, syarrul bariyyah, seburuk-buruknya makhluk. Seburuk-buruk makhluk khusus pada ayat ini adalah orang-orang kafir dari kalangan ahli kitab dan orang-orang musyrik. Mengenai seburuk-buruknya makhluk kita juga bisa melihat misalnya pada surah Al-Anfal ayat 22, “Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya di sisi Allah ialah orang-orang yang bisu dan tuli yang tidak mengerti apa-apa pun.” Pada ayat ini, Allah lebih memperluas cakupan siapa saja yang termasuk seburuk-buruknya makhluk dengan memperinci karakteristiknya. Dalam surah Al-A’raf ayat 179 Allah SWT lebih memperincinya lagi, mereka mempunyai hati namun tidak mempergunakannya untuk memahami ayat-ayat Allah, mempunyai mata namun tidak menggunakannya untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah dan mempunyai telinga namun tidak menggunakannya untuk mendengarkan ayat-ayat Allah, oleh Allah mereka tidak hanya disebut sebagai seburuk-buruknya makhluk bahkan lebih sesat dari binatang ternak.
Mengenai syarrul bariyyah, yang dimaksud pada surah Al-Bayyinah -sebagaimana yang difirmankan Allah SWT pada ayat-ayat sebelumnya- tidaklah mencakup seluruh orang-orang kafir dari kalangan ahli kitab ataupun seluruh orang-orang musyrik, namun terbatas hanya bagi mereka yang telah mendapatkan hujjah yang sangat jelas mengenai kebenaran  ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad saww, namun mereka bukan hanya sekedar menolaknya namun juga melakukan penentangan yang keras. Sementara mereka yang tidak beriman dan bertauhid yang benar, karena dakwah Islam belum sampai kepada mereka atau karena memiliki halangan-halangan tertentu, bukan karena sejak awal melakukan penentangan, perhitungannya ada pada sisi Allah SWT.
Selanjutnya, kita kembali berbincang mengenai khairul bariyyah. Pada ayat ke tujuh dan delapan, Allah SWT menyampaikan karakteristik orang-orang yang termasuk khairul bariyyah.
Pertama, orang-orang yang beriman (alladziina aamanuu). Yang dimaksud mereka yang beriman adalah yang beriman kepada Allah SWT, para Anbiyah as dan kitab-kitab yang mereka bawa serta mereka yakin akan keberadaan hari akhirat. Sementara mereka yang musyrik ataupun orang-orang kafir dari kalangan ahli kitab ataupun dari agama-agama selain Islam tidak termasuk dalam golongan ini.
Kedua, mereka yang beramal shalih (wa ‘amilushshaalihat). Setelah mereka mengimani Allah  SWT dan ajaran-ajaran yang dibawa para Anbiyah as mereka mengejewantahkannya dalam laku perbuatan, dalam amalan-amalan dzahir mereka. Pengertian amal saleh, telah sedemikian jelas dan tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut, sebagaimana yang termaktub dalam Shahih Muslim kitab al-Iman disebutkan bahwa sekedar menghilangkan penghalang yang menganggu pada jalanan yang dilalui kaum muslimin termasuk amal shalih dan sebaik-baiknya amal shalih adalah beriman kepada Allah SWT dan bersaksi hanya Allah yang berhak untuk disembah.
Ketiga, mereka yang takut pada Tuhannya (dzalika liman  khasiya Rabba). Mereka yang termasuk dalam khairul bariyyah adalah mereka yang beriman, beramal shalih dan takut kepada Rabbnya. Ketiga karakteristik ini mesti dimiliki seseorang yang ingin termasuk dalam khairul bariyyah, tidak memilah dan mengabaikan yang lain. Amal shalih misalnya, bisa saja dilakukan tanpa mesti beriman atau atas dasar takut kepada Allah, bisa saja karena paksaan, takut atau karena terbentuk dari kebiasaan dan tradisi keluarga atau lingkungan dimana dia berada.
Setelah menjelaskan karakteristik khairul bariyyah, Allah SWT melanjutkannya, dengan menyampaikan balasan bagi mereka. Di akhirat mereka tidak hanya mendapat balasan dan pahala secara lahiriah saja namun juga secara maknawi atau batiniah. Sebagaimana mafhum, manusia terdiri atas dua bagian, lahiriah dan batiniah, jasmani dan ruhiyah, maka masing-masing dari kedua sisi manusia ini mendapatkan balasannya. Sebagaimana pada ayat terakhir pada surah Al-Bayyinah, “Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.” ini menunjukkan balasan lahiriah. Dan kata-kata selanjutnya, “Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya.” Menunjukkan balasan atau pahala maknawi. Keridhaan adalah perasaan batiniah. Keridhaan Allah terhadap mereka karena amalan-amalan shalih mereka di dunia yang dibaluri keimanan yang kuat kepada-Nya dan keridhaan mereka kepada Allah karena balasan dan pemberian Allah berupa kenikmatan-kenikmatan yang tiada tara kepada mereka. Alangkah beruntungnya mereka yang termasuk khairul bariyyah, adakah kenikmatan dan balasan yang lebih mulia daripada keridhaan Allah SWT?.
Pertanyaan yang biasanya hadir ketika berbicara mengenai ayat, diantaranya, apakah ayat tersebut termasuk ayat umum atau ayat khusus?. Berkenaan dengan pembahasan kita, maka kemungkinan timbul pertanyaan, apakah yang dimaksud Allah SWT khairul bariyyah adalah mencakup kesemua kaum mukminin yang beramal shalih atau hanya terbatas pada kelompok tertentu?. Untuk menjawabnya, tidak ada cara lain selain melihat asbabun nuzul (penyebab turunnya ayat), yang terdapat dalam riwayat-riwayat nabawiyah. Di sini saya mengajukan beberapa referensi dari kitab-kitab Ahlus Sunnah. Pada tafsir Tabari, jilid 30 hal. 171  diriwayatkan dari Ibnu Hamid mengatakan bahwa, Isa bin Farqad dari Abil Jarud dari Muhammadi bin Ali, Rasulullah saww ketika ditanya siapakah khairul bariyyah itu, beliau saww menjawab,:”Hum anta, wa syi’atuka….Engkau ya Ali dan Syiahmu ( pengikutmu)”. Sementara riwayat lain menyebutkan, Jabir bin Abdullah Anshari ra berkata ketika ayat ‘khairul bariyyah’ turun, Nabi saww menghadap kepada Ali as dan berkata, “Hum anta, wa syi’atuka, taridu ‘alayya wa syi’atuka radhiina mardiyyiina, (maksud dari khairul bariyyah) adalah kamu  (Ali) dan pengikutmu, di hari kiamat kamu dan syiahmu masuk bersama saya dalam keadaan Allah ridha kepadamu, dan kamu ridha kepada Allah.” Riwayat ini terdapat dalam kitab Syawahid at Tanzil, oleh Imam Al-Hakim An-Naisyaburi, pada jilid 2 hal. 360.
Saya mencukupkan dengan menukilkan riwayat dari dua kitab ini saja. Akan sangat membutuhkan banyak tempat kalau harus menukilkan dari semua kitab yang menjelaskan asbabun nuzul ayat yang sedang kita bicarakan, yang jelas semua riwayat mengerucut pada imam Ali as dan Syiahnya lah yang dimaksud Khairul Bariyyah. Timbul pertanyaan, mengapa harus ada tambahan persyaratan untuk terkategorikan sebagai makhluk yang terbaik, yakni harus menjadi pengikut dan syiahnya Imam Ali as?. Sebagaimana masyhur telah tercatat dalam kitab-kitab tarikh yang mu’tabar, umat Islam sepeninggal nabi Muhammad saww -terutama di masa pemerintahan Imam Ali as- terpecah menjadi bergolong-golongan. Perseteruan antara Imam Ali as dan Muawiyah menjadikan umat Islam setidaknya berpecah menjadi 4 kelompok besar. Pengikut imam Ali as, pengikut Muawiyah, Khawarij (yang tidak mengikuti salah satu diantara keduanya, malah membenci dan memusuhi keduanya) dan kelompok keempat yang terdiri dari banyak sahabat Nabi, tidak menjadi pengikut salah satu diantara keduanya, namun juga tidak membenci keduanya. Keempat golongan besar ini kesemuanya mendakwahkan diri sebagai umatnya Muhammad saww, namun lewat nubuat yang jauh-jauh sebelumnya telah disampaikan Nabi, bahwa tidak mungkin keempat golongan yang berpecah dan saling bermusuhan ini, bahkan terlibat dalam pertumpahan darah yang tragis semuanya benar. Sesungguhnya Nabi Muhammad saww ketika memberi penjelasan mengenai ayat “Khairul Bariyyah”, hakekatnya ingin menyampaikan, bahwa untuk menjadi makhluk yang terbaik, ikutilah Ali as jika terjadi perselisihan sepeninggalku.
Saya menutup tulisan ini, dengan menukilkan kembali sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim rahimahullah, dari Ali as yang berkata, “Demi Allah yang menumbuhkan jenis biji, menciptakan jenis insan, sesungguhnya Rasulullah saww telah menegaskan kepadaku, bahwa takkan cinta kepadaku kecuali orang mukmin, dan takkan benci kepadaku kecuali orang munafik.” (HR. Muslim hadits no. 48 bab Keimanan jilid I).
Rasulullah saw menyampaikan kepada kita diantara bukti keimanan adalah memberikan kecintaan kepada Imam Ali as, sebaik-baiknya makhluk Allah SWT. Semoga kita termasuk diantara pengikutnya. Insya Allah.
Lantas, bagaimana dengan wacana Iran yang anti-Israel dan Amerika? Hal itu sudah sejak lama diyakini sebagai sebuah retrorika belaka. Orang-orang Syiah selalu mengagungkan Ali—melampui terhadap Rasulullah Muhammad saw. Padahal Ali yang disebut sebagai singa Islam, yang berjuang untuk membela kehormatan Islam dan umat Islam, tidak pernah bekerja sama dengan musuh-musuh Islam, apalagi menumpahkan darah dan menjarah kekayaan Muslim.
yaitu kaum yang mengagung-agungkan Sayyidina Ali (Karomallahu wajhah), mereka tidak mengakui khalifah Rasyidin yang lain seperti Khlifah Sayyidina Abu Bakar, Sayidina Umar dan Sayyidina Usman bahkan membencinya. Kaum ini di sulut oleh Abdullah bin Saba, seorang pendeta yahudi dari Yaman yang masuk islam. Ketika ia datang ke Madinah tidak mendapat perhatian dari khalifah dan umat islam lainnya sehingga ia menjadi jengkel. Golongan Syiah pecah menjadi 22  golongan dan yang paling parah adalah Syi'ah Sabi'iyah.
3. Khawarij, yaitu kaum yang sangat membenci Sayyidina Ali Kw, bahkan mereka mengkafirkannya.  
    Salah satu ajarannya Siapa orang yang melakukan dosa besar maka di anggap kafir. Golongan Khawarij   
    Pecah menjadi 20  golongan. 
4. Murjiah.
  • Al-Murji’ah meyakini bahwa seorang mukmin cukup hanya mengucapkan “Laailahaillallah” saja dan ini terbantah dengan pernyataan hadits bahwa dia harus mencari dengan hal itu wajah Allah, dan orang yang mencari tentunya melakukan segala sarananya dan konsekuensi-konsekuensi pencariannya sehingga dia mendapatkan apa yang dia cari dan tidak cukup hanya mengucapkan saja. Jadi menurut al-murji’ah bahwa cukup mengucapkan “Laailahaillallah” dan setelah itu dia berbuat amal apa saja tidak akan mempengaruhi keimanannya, maka ini jelas bertentangan dengan hadits “dia mencari dengan itu wajah Allah”, maka ini adalah bentuk kesesatan al-murji’ah.
  • Al-Mu’tazilah dan Al-Khawarij meyakini bahwa seorang yang melakukan dosa-dosa besar kekal didalam api neraka, dan ini terbantah dengan sabda Rasulullah “sesungguhnya Allah mengharamkan atas api neraka orang yang mengucapkan Laailahaillallah”. Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bahwasanya pengharaman api neraka membakar orang-orang yang mengucapkan “Laailahaillallah” itu ada dua, pertama pengharaman secara mutlak dan ini bagi orang yang mengucapkan “Laailahaillallah” dengan mendatangkan seluruh syarat-syaratnya, konsekuensi-konsekuensinya dan kandungan-kendungannya sehingga dia terlepas dari syirik besar, syirik kecil dan perbuatan-perbuatan dosa besar, kalaupun dia terjatuh kepada perbuatan dosa maka dia bertaubat dan tidak terus menerus diatasnya, maka orang yang sempurna tauhidnya seperti ini diharamkan api neraka untuk membakarnya secara mutlak, yakni dia tidak disentuh oleh api neraka sama sekali. Kemudian yang kedua, yaitu pengharaman yang tidak mutlak dan bersifat kurang, yang dimaksud yaitu pengharaman untuk kekal didalam api neraka, ini bagi orang-orang yang kurang tauhidnya sehingga dia terjatuh kedalam syirik kecil atau dosa-dosa besar yang dia terus menerus didalamnya, maka orang yang demikian ini diharamkan atas api neraka untuk membakarnya dalam jangka waktu yang kekal selama dia belum mengugurkan tauhidnya ketika didunia. Oleh karena itu pendapat al-mu’tazilah dan al-khawarij yang menyatakan bahwa pelaku dosa besar kekal didalam api neraka, ini adalah pendapat yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah.
  • Tidak ada dzikir yang lebih utama didunia ini kecuali “Laailahaillallah”.
  • Salah satu sebab dikabulkannya doa adalah dengan menggunakan sifat Allah dan nama-Nya, secara khusus memanggil Allah dengan uluhiyah-Nya, meminta dan berdoa kepada Allah dengan menyebutkan rububiyah-Nya.
“Laailahaillallah” merupakan dzikir dan doa, disebut dengan doa karena orang yang mengucapkan “Laailahaillallah” mengharapkan ridha Allah dan ingin sampai kepada surga-Nya.
Golongan Murjiah pecah menjadi 5 golongan.
5. Najariyah, Kaum yang menyatakan perbuatan manusia adalah mahluk, yaitu dijadikan Tuhan dan tidak percaya pada sifat Allah yang 20. Golongan Najariyah pecah menjadi 3 golongan.
6. Al Jabbariyah, Kaum yang berpendapat bahwa seorang hamba adalah tidak berdaya apa-apa (terpaksa), ia melakukan maksiyat semata-mata Allah yang melakukan. Golongan Al Jabbariyah pecah menjadi 1 golongan.
7. Al Musyabbihah / Mujasimah, kaum yang menserupakan pencipta yaitu Allah dengan manusia, misal bertangan, berkaki, duduk di kursi. Golongan Al Musyabbihah / Mujasimah pecah menjadi 1 golongan.Dan satu golongan yang selamat adalah Ahli Sunah Wal Jama'ah. 

Ahli Sunah wal Jama'ah.
1. Pengertian. 
Secara etimologi Ahli adalah kelompok/keluarga/pengikut. Sunah adalah perbuatan-perbuatan Rasulullah yang diperagakan beliau untuk menjelaskan hukum-hukum Al Qur'an yang dituangkan dalam bentuk amalan. Al Jama'ah yaitu Al Ummah ( Al Munjid) yaitu sekumpulan orang-orang beriman yang di pimpin oleh imam untuk saling bekerjasama dalam hal urusan yang penting.
Menurut istilah Ahli Sunah wal Jama'ah adalah sekelompok orang yang mentaati sunah Rasulullah secara berjama'ah, atau satu golongan umat islam di bawah satu komando untuk urusan agama islam sesuai dengan ajaran Rasulullah dan para sahabatnya.
2.Syarat terbentuknya Al Jama'ah.
Secara singkat telah diterangkan oleh Sayyidina Umar RA: " Tidak ada islam kecuali dengan jama'ah, Tidak ada jama'ah kecuali dengan imam, Tidak ada imam kecuali dengan Bai'at, Tidak ada bai'at kalau tidak ada taat.
Dan bai'at bukanlah syahadat, sebagaimana yang diyakini oleh mereka yang salah, dan apalagi dengan pengkafiran diluar kelompok tersebut.
3. Terpeliharanya Islam.
Dalam masa-masa kerusakan islam Allah menunjukkan kasih sayangnya dengan membangkitkan para mujadidnya setiap 100 tahun sekali yang meluruskan kembali pemahaman ajaran Rasul sesuai dengan kebutuhan  pemahaman mereka saat itu hingga turunnya masa imam Mahdi


ULAMA ASWAJA
IMAM ALASYARI
Biografi Imam alasyari…….
Beliau adalah al-Imam Abul Hasan Ali bin Ismail bin Abu Bisyr Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abu Burdah bin Abu Musa Al-Asy’ari Abdullah bin Qais bin Hadhar. Abu Musa Al-Asy’ari adalah salah seorang sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam yang masyhur.
Beliau -Abul Hasan Al-Asy’ari- Rahimahullah dilahirkan pada ta¬hun 260 H di Bashrah, Irak.
Beliau Rahimahullah dikenal dengan kecerdasannya yang luar biasa dan ketajaman pemahamannya. Demi¬kian juga, beliau dikenal dengan qana’ah dan kezuhudannya.

Guru-Gurunya
Beliau Rahimahullah mengambil ilmu kalam dari ayah tirinya, Abu Ali al-Jubai, seorang imam kelompok Mu’tazilah.
Ketika beliau keluar dari pemikiran Mu’tazilah, beliau Rahimahullah memasuki kota Baghdad dan mengambil hadits dari muhaddits Baghdad Zakariya bin Yahya as¬-Saji. Demikian juga, beliau belajar kepada Abul Khalifah al-Jumahi, Sahl bin Nuh, Muhammad bin Ya’qub al-Muqri, Abdurrahman bin Khalaf al-Bashri, dan para ula-ma thabaqah mereka.

Taubatnya Dari Aqidah Mu’tazilah
Al-Hafizh Ibnu Asakir ber¬kata di dalam kitabnya Tabyin Kadzibil Muftari fima Nusiba ila Abil Hasan al-Asy’ari, ”Abu Bakr Ismail bin Abu Muhammad al¬-Qairawani berkata, ‘Sesungguh¬nya Abul Hasan al-Asy’ari awalnya mengikuti pemikiran Mu’tazilah selama 40 tahun dan jadilah beliau seorang imam mereka. Suatu saat beliau menyepi dari manusia selama 15 hari, sesudah itu beliau kembali ke Bashrah dan shalat di masjid Jami’ Bashrah. Seusai shalat Jum’at beliau naik ke mimbar se¬raya mengatakan:
Wahai manusia, sesungguhnya aku menghilang dari kalian pada hari-hari yang lalu karena aku melihat suatu permasalahan yang dalil-dalilnya sama–sama kuat sehingga tidak bisa aku tentukan mana yang haq dan mana yang batil, maka aku memohon pe¬tunjuk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga Allah memberikan petunjuk kepada¬ku yang aku tuliskan dalam kitab- kitabku ini, aku telah melepaskan diriku dari semua yang sebelum¬nya aku yakini, sebagaimana aku lepaskan bajuku ini.
Beliau pun melepas baju beliau dan beliau serahkan kitab-kitab tersebut kepada manusia. Ketika ahlul hadits dan fiqh membaca kitab-kitab tersebut me¬reka mengambil apa yang ada di dalamnya dan mereka mengakui kedudukan yang agung dari Abul Hasan al-Asy’ari dan menjadikan¬nya sebagai imam.’”

Para pakar hadits (Ashhabul hadits) sepakat bahwa Abul Hasan al-Asy’ari adalah salah seorang imam dari ashhabul hadits.
Beliau ber¬bicara pada pokok-pokok agama dan membantah orang-orang menye-leweng dari ahli bid’ah dan ahwa’ dengan menggunakan al-Qur’an dan Hadits dengan pemahaman para sahabat. Beliau adalah pedang yang terhu¬nus atas Mu’taziah, Rafidhah, dan para ahli bid’ah.
Abu Bakr bin Faurak berkata, ”Abul Hasan al-Asy’ari keluar dari pemikiran Mu’tazilah dan mengikuti madzhab yang sesuai dengan para sahabat pada tahun 300 H.”
Abul Abbas Ahmad bin Mu¬hammad bin Khalikan berkata dalam kitabnya, Wafayatul A’yan (2/446), ”Abul Hasan al-Asy’ari awalnya mengikuti pemikiran Mu’tazilah kemudian bertaubat.”
Al-Hafizh Ibnu Katsir berka¬ta dalam kitabnya, al-Bidayah wan Nihayah (11/187), “Sesungguhnya Abul Hasan al-Asy’ari awalnya adalah seorang Mu’tazilah kemu-dian bertaubat dari pemikiran Mu’tazilah di Bashrah di atas mimbar, kemudian beliau tampakkan aib-aib dan kebobrokan pemikiran Mu’tazilah.”
Al-Hafizh adz-Dzahabi ber¬kata dalam kitabnya, al-Uluw lil Aliyyil Ghaffar, ”Abul Hasan al¬Asy’ari awalnya seorang Mu’tazilah mengambil ilmu dari Abu Ali al-¬Juba’i, kemudian beliau lepaskan pemikiran Mu’tazilah dan jadilah beliau mengikuti Sunnah dan mengikuti para imam ahli hadits.”
Tajuddin as-Subki berkata dalam kitabnya, Thabaqah Syafi¬’iyyah al-Kubra (2/246), ”Abul Hasan al-Asy’ari -mengikuti pe¬mikiran Mu’tazilah selama 40 tahun hingga menjadi imam ke¬lompok Mu’tazilah. Ketika Alloh menghendaki membela agama-Nya dan melapangkan dada beliau untuk ittiba’ kepada al-Haq maka beliau menghilang dari manusia di rumahnya.” (Kemudian Tajuddin as-Subki menyebutkan apa yang dikatakan oleh al-Hafizh Ibnu Asakir di atas).
Ibnu Farhun al-Maliki berkata dalam kitabnya Dibajul Madz¬hab fi Ma’rifati A’yani Ulama’il Madzhab (hal. 193), ”Abul Hasan al-Asy’ari awalnya adalah seorang Mu’tazilah, kemudian keluar dari pemikiran Mu’tazilah kepada madzhab yang haq madzhabnya para sahabat. Banyak yang heran dengan hal itu dan bertanya se-babnya kepada beliau, Maka be¬liau menjawab bahwa beliau pada bulan Ramadhan bermimpi bertemu Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam yang memerintahkan ke¬pada beliau agar kembali kepada kebenaran dan membelanya, dan demikianlah kenyataannya -walhamdulillahi Taala-.”
Murtadha az-Zabidi berkata dalam kitabnya Ittihafu Sadatil Muttaqin bi Syarhi Asrari lhya’ Ulumiddin (2/3), ”Abul Hasan al-Asy’ari mengambil ilmu kalam dari Abu Ali al-Jubba’i (tokoh Mu’tazilah), kemudian beliau tinggalkan pemikiran Mu’tazilah dengan sebab mimpi yang beliau lihat, beliau keluar dari Mu’tazilah secara terang-terangan, beliau naik mimbar Bashrah pada hari Jum’at dan menyeru dengan lantang, ‘Barangsiapa yang telah mengenaliku maka sungguh telah tahu siapa diriku dan barangsiapa yang belum kenal aku maka aku adalah Ali bin Ismail yang dulu aku mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk, bahwasanya Allah tidak bisa dilihat di akhirat dengan mata, dan bah¬wasanya para hamba menciptakan perbuatan-perbuatan mereka. Dan sekarang lihatlah aku telah bertau¬bat dari pemikiran Mu’tazilah dan meyakini bantahan atas mereka,’ kemudian mulailah beliau mem¬bantah mereka dan menulis yang menyelisih pemikiran mereka.”
Para ulama menyebutkan bahwa Syaikh Abul Hasan al-Asy’ari memiliki tiga fase pemikiran:
Pertama mengikuti pemikiran Mu’tazilah yang kemu¬dian beliau keluar darinya,
Kedua menetapkan tujuh sifat aqliyyah, yaitu; Hayat, Ilmu, Qudrah, Iradah, Sama’, Bashar, dan Kalam, dan beliau menakwil sifat-sifat khabariyyah seperti wajah, dua tangan, telapak kaki, betis, dan yang semisalnya.
Ketiga adalah menetapkan semua sifat Allah tan¬pa takyif dan tasybih sesuai man¬haj para sahabat yang merupakan metode beliau dalam kitabnya al-Ibanah yang beliau tulis belakangan.’”

Murid-Muridnya
Di antara murid-muridnya adalah Abul Hasan al-Bahili, Abul Hasan al-Karmani, Abu Zaid al¬-Marwazi, Abu Abdillah bin Mu¬jahid al-Bashri, Bindar bin Husain asy-Syairazi, Abu Muhammad al¬-Iraqi, Zahir bin Ahmad as-Sara¬khsyi, Abu Sahl Ash-Shu’luki, Abu Nashr al-Kawwaz Asy-Syairazi, dan yang lainnya.