MUA'ALLIM ASWAJA

MUA'ALLIM ASWAJA
MI.I'ANATUTHALIBIN ISLAMIC ELEMENTARY SCHOOL

KAPITA SELEKTA

KAPITA SELEKTA
BEBAS BIAYA OPERASIONAL

12/26/2010

Dunia Guru, Madrasah dan Tulisan Sekedar


Guru Menulis


Photography of a teacher writing on blackboard...
Image via Wikipedia
Oleh : NANANG YUNAN SUROSO (Guru Bahasa Jepang SMAN 7 Kota Cirebon; Simpatisan Asosiasi Guru Penulis)
Pada Desember ini ada dua peristiwa yang sangat menarik dan penting bagi upaya membangun profesionalisme guru dan kualitas pendidikan nasional. Pertama, peringatan Tahun Baru 1432 Hijriah yang jatuh pada Selasa (7/12). Hijrah adalah peristiwa berpindahnya Rasulullah SAW beserta sahabatnya dari Mekkah menuju Madinah untuk membangun kehidupan berlandaskan tauhid yang lebih baik. Peristiwa yang dilandasi niat ikhlas dan penuh pengorbanan ini dimaknai sebagai perpindahan atau perubahan untuk mencapai kemuliaan dan kehidupan yang lebih berkualitas.
Peristiwa kedua, seminar dengan tema ”Guru Menulis di Media Massa” yang diselenggarakan pada Kamis (9/12). Seminar dalam rangka Hari Guru Nasional dan HUT ke-65 PGRI yang terselenggara atas kerja sama pengurus PGRI Jawa Barat, Dinas Pendidikan Provinsi Jabar, dan harian Kompas ini bertujuan membangun kesadaran reformis dan kreatif guru dalam menulis atau menuangkan ide-ide kreatif dan inovatifnya. Selain itu, menumbuhkan budaya menulis atau meneliti sebagai episentrum peningkatan kualitas pembelajaran dan pendidikan.
Pertanyaan korelatifnya, dapatkah kompetensi menulis menjadi simpul profesionalisme guru dan menghijrahkan guru sehingga berkontribusi konstruktif bagi peningkatan kualitas pendidikan?
Membangun guru profesional tidak semudah membalik telapak tangan. Membangun guru profesional diwujudkan melalui proses terintegrasi yang memakan waktu, pikiran, tenaga, dan anggaran yang tidak sedikit. Program sertifikasi guru yang bertujuan meningkatkan kompetensi dan kesejahteraan guru dihadapkan pada sulitnya mengubah karakter guru. Sertifikasi guru melalui portofolio serta pendidikan dan latihan profesi guru dinilai belum bisa meningkatkan kualitas dan performa guru.
Baca entri selengkapnya »

i

Rate This
Quantcast
Ditulis oleh Zainal Muttaqien
10 Desember 2010 pada 08:44

Ketika Guru Bisa Menulis


whiteboard writing skills
Image by massdistraction via Flickr
Oleh : Sudaryanto SPd (Guru MAN III Yogyakarta)
Hampir setiap guru SD hingga SLTA pasti memiliki kemampuan menulis. Betulkah begitu? Sungguh, para guru sebenarnya memiliki cukup literatur dan materi untuk membuat tulisan. Setiap kali datang ke sekolah, mengajar anak didik di kelas, dan mengunjungi perpustakaan setiap kali itu pula ide-ide tulisan muncul. Jadi, saya berkeyakinan, sebenarnya para guru mampu menulis. apa pun bentuknya.
Sayangnya, hal itu belum dioptimalkan. Ada banyak faktor yang menjadi penyebab. Misalnya, tingginya beban tugas mengajar. Tuntutan tugas dengan jam mengajar yang padat mengakibatkan mereka menjadi malas menulis. Belum lagi adanya tanggungjawab di luar sekolah atau di keluarga. Akibatnya, guru kehilangan waktu untuk bisa menuangkan ide dan pemikirannya melalui tulisan.
Padahal, ketika guru sudah mulai menulis, secara otomatis tingkat intelektualitasnya bertambah. Akan tetapi, ironisnya.hanya sebagian kecil guru yang memiliki kesadaran, motivasi, dan komitmen tinggi yang mau menyempatkan menulis. Sebagian besar guru justru sibuk dengan jam mengajar. Bahkan, sampai-sampai mengajar di sekolah lain guna menambah penghasilan.
Harus diakui, kebiasaan mendidik secara verbal membuat guru lebih nyaman dan menguasai model pembelajaran verbal dibandingkan menulis, baik karya ilmiah maupun artikel. Padahal, sekali lagi, penulisan ide-ide dan seluruh pemikiran guru (tentang kurikulum, cara belajar efektif, buku pelajaran, dan sebagai nya) lebih bisa diketahui masyarakat, tidak hanya muridnya. Ini terutama hasil tulisan yang diterbitkan di media massa.
Baca entri selengkapnya »

i

Rate This
Quantcast
Ditulis oleh Zainal Muttaqien
9 Desember 2010 pada 08:30

Kemampuan Menulis Guru Lemah?


Writer's Digest Book Shipment
Image by AngelaShupe.com via Flickr
Oleh: Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si
Berita Kompas (19/3/2010) halaman 12 tentang rendahnya kemampuan guru menulis karya ilmiah tidak mengejutkan banyak orang karena bukan hal baru. Berita sejenis sebelumnya pernah dimuat oleh beberapa media. Sebenarnya, lemahnya tradisi menulis ilmiah tidak saja terjadi di kalangan guru, tetapi juga dosen. Penyebabnya macam-macam. Tetapi umumnya antara lain karena lemahnya kesadaran pentingnya menulis, tidak tahu manfaat menulis,  keterbatasan mengakses informasi sehingga tidak tahu apa yang harus ditulis, lemahya penguasaan metode ilmiah, kurangnya dorongan pimpinan sekolah kepada para guru untuk menulis. Khusus untuk dosen, penyebab yang lain adalah karena menulis dianggap membuang waktu dan tidak menguntungkan secara material. Sebab, daripada waktu untuk menulis lebih baik dipakai untuk mengajar yang bisa memperoleh keuntungan material secara langsung.
Keadaan di atas bukan isapan jempol. Coba saja berkunjung ke perpustakaan sekolah. Selain umumnya buku bacaan  yang tersedia sangat sedikit, karya ilmiah dari hasil tulisan guru juga hanya beberapa biji, apalagi hasil penelitian. Selain jumlahnya sangat sedikit,  buku yang tersedia umumnya juga buku-buku lama atau yang tidak bermutu sehingga tidak dapat menunjang peningkatan kualitas akademik siswa. Padahal, ilmu pengetahuan berkembang demikian pesat yang mestinya dibarengi dengan ketersediaan buku atau bacaan yang banyak dan up  to date.di setiap lembaga atau satuan pendidikan.
Rendahnya kemampuan dan minat menulis karya ilmiah juga berdampak pada mandeknya jenjang kepangkatan guru. Secara nasional, sebagian besar kepangkatan guru berhenti pada golongan IV A. Mengapa? Sebab, mulai golongan IV A ke atas kenaikan golongan mensyaratkan komponen dari penulisan karya ilmiah, selain komponen mengajar. Akibatnya, sebagai fakta, dari sekitar 2,6 juta guru hanya 0, 87 % guru yang bergolongan IVB, 0, 07 % untuk golongan IVC, dan 0,02 % untuk guru golongan IV D.
Baca entri selengkapnya »

i

Rate This
Quantcast
Ditulis oleh Zainal Muttaqien
8 Desember 2010 pada 08:23

Standar Pengawasan Guru Perlu Diperbaiki


Leraar met gezag / Teacher with authority
Image by Nationaal Archief via Flickr
Banda Aceh, Kompas – Keberadaan badan baru untuk meningkatkan profesionalisme guru dinilai tidak terlalu signifikan. Pemerintah lebih baik memperbaiki mekanisme pengawasan proses belajar-mengajar dengan memberdayakan lembaga yang sudah ada.
Pembantu Rektor Bidang Akademik Universitas Syiah Kuala, Prof Samsul Rizal, ditemui di sela-sela kegiatan pameran pendidikan di Sekolah Menengah Atas Lab School di Banda Aceh, Jumat (3/12), mengatakan, saat ini tidak ada kejelasan mengenai siapa yang berhak untuk melakukan pengawasan mutu dan kualitas guru.
Dia menjelaskan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh tidak memberikan sikap yang jelas mengenai lembaga mana yang berhak untuk melakukan pengawasan terhadap proses belajar-mengajar. Dinas pendidikan kabupaten/kota, khususnya di Aceh, katanya, tidak banyak melakukan pengawasan. Termasuk juga penyebaran.
Lembaga-lembaga yang ada, seperti Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan yang berdiri di tiap ibu kota provinsi, menurut dia, juga tidak memberikan kontribusi yang memadai untuk mengawasi kinerja guru, apalagi pascaprogram sertifikasi.
Dia menjelaskan, sebaiknya pemerintah mengembalikan fungsi pengawasan guru kepada pemerintah provinsi. Dengan standar yang sudah dibakukan, menurut dia, pemerintah provinsi akan sanggup untuk melaksanakannya. Terlalu banyak lembaga ad hoc seperti yang baru saja dibentuk malah akan membingungkan para guru.
Baca entri selengkapnya »

i

Rate This
Quantcast
Ditulis oleh Zainal Muttaqien
7 Desember 2010 pada 22:27

Gaji Pokok Guru Diusulkan Rp 2,5 Juta


Without money
Image by Toban Black via Flickr
REPUBLIKA.CO.ID,MAKASSAR–Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulsel menyatakan, gaji pokok guru tengah diusulkan menjadi Rp2,5 juta per bulan. Ketua PGRI Sulsel Muh. Asmin di Makassar, Sabtu, menjelaskan, gaji pokok guru saat ini kurang dari Rp2 juta belum termasuk guru-guru honor atau guru-guru bantu yang pendapatannya tidak menentu. “Ini jadi keprihatinan kita terutama yang pendapatannya tidak menentu, di bawah Upah Minimum Regional, kita minta pemerintah menyikapinya,” ujarnya.
Profesi guru, lanjutnya, tidak bisa dikatakan sukarela harus dibayar sesuai dengan profesinya dengan proporsional paling tidak di atas UMR. Menurutnya, kesejahteraan dan perlindungan hukum terhadap profesi guru masih menjadi isu sentral dalam peringatan hari guru nasional tahun ini. Pihaknya bertekad seluruh guru honorer yang selama ini digaji menggunakan APBN dan APBD harus menjadi PNS. “Saya belum tahu persis jumlahnya tapi pendataannya sudah selesai,” ujarnya.
Namun, guru honor kategori pertama ini sebenarnya dapat memperoleh tunjangan profesi senilai kurang lebih Rp3 juta atau sama dengan tunjang profesi guru PNS berdasarkan lama pengabdian dan tingkat pendidikannya. Kategori kedua profesi guru yang tengah diperjuangkan nasibnya adalah guru yang bertugas di sekolah pemerintah tapi tidak digaji menggunakan APBD dan APBN. “Untuk kategori ini kita masih lakukan pendataan sampai 31 Desember 2010,” katanya.
Baca entri selengkapnya »

i

Rate This
Quantcast
Ditulis oleh Zainal Muttaqien
5 Desember 2010 pada 10:30
Ditulis dalam Dunia Guru dan Pengajaran
Dikaitkatakan dengan ,

Tahun 2011 Madrasah Mulai Diakreditasi


A madrasah in the Gambia
Image via Wikipedia
JAMBI – Untuk meningkatkan mutu pendidikan di madrasah, maka berbagai program terus dibuat Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jambi saat ini. Bahkan pada tahun 2011 pihak Kemenag Provinsi Jambi akan melakukan akreditasi semua madrasah secara berangsur-angsur sesuai dengan dana yang adaa.
Menurut Kakanwil Kemenag Provinsi Jambi, melalui Kasi Kelembagaan Bidang Mapenda, Zostavia, SAg bahwa saat ini Kemenag memiliki 927 madrasah baik negeri maupun swasta. Makanya mulai tahun 2011 pihaknya mulai membenahi madrasah dengan melakukan akreditasi.
“Untuk 2011 kita focus pada akreditasi madrasah dan bekerjasama dengan Badan Akreditasi Provinsi (BAP). Ini adalah salah satu cara kita untuk meningkatkan mutu madrasah agar bisa bersaing dengan lulusan umum lainnya mulai dari RA, MTS hingga MA,” sebut Zostavia saat ditemui, kemarin.
Dikatakan Zostavia bahwa pihaknya mengharapkan agar akreditasi madrasah ini bisa selesai dilakukan pada tahun 2014. Tetapi akreditasi tidak bisa dilakukan secara bersamaan, tetapai akan dilakukan secara bertahap sesuai dengan dana yang dianggarkan. “Memang harus diakui bahwa manajemen madrasah perlu pembenahan dan inilah salah satu caranya,” jelasnya.
Baca entri selengkapnya »

i

Rate This
Quantcast
Ditulis oleh Zainal Muttaqien
4 Desember 2010 pada 10:16

Presiden SBY: Sertifikasi Guru Jangan Hanya Untuk Tunjangan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA–Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengingatkan para guru agar sertifikasi tidak hanya digunakan untuk mendapatkan tunjangan profesi. Dalam pidatonya pada peringatan hari guru nasional dan HUT ke-65 Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di Gedung Tenis Indoor Senayan, Jakarta, Kamis (2/12) malam, Presiden meminta agar para guru juga meningkatkan kualitas dan kompetensi melalui sertifikasi.
“Amanat UU No 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen, pembinaan guru di tanah air kita arahkan agar guru memiliki kualitas akademik,” ujar Presiden.
Kepala Negara berharap kehadiran guru yang semakin profesional akan mempercepat terbentuknya masyarakat Indonesia yang maju. Guru yang berkualitas, lanjut dia, diperlukan untuk memajukan pendidikan di Indonesia yang berdasarkan pada empat pilar, yaitu pendidikan berdimensi keimanan, keilmuan, keterampilan, serta pengembangan kepribadian.
Dalam pidatonya, Presiden menyatakan komitmen pemerintah untuk meningkatkan profesionalitas guru melalui pembentukan badan baru di Kementerian Pendidikan Nasional setingkat eselon satu untuk menangani profesi guru dan jaminan mutu pendidikan.
Baca entri selengkapnya »

i

Rate This
Quantcast
Ditulis oleh Zainal Muttaqien
3 Desember 2010 pada 10:34

Filipina Ingin Adopsi Pendidikan Madrasah Indonesia


Islamic Education Center, Houston, Texas
Image via Wikipedia
JAKARTA – Pendidikan madrasah yang telah cukup lama diterapkan di Indonesia, ternyata menarik minat negara tetangga untuk mengadopsinya. Salah satunya adalah Filipina. Bahkan, negara yang berada di berada di utara Indonesia tersebut, secara terang-terangan telah meminta masukan kepada Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) mengenai pendidikan tersebut.
Hal itu diungkapkan oleh Menteri Pendidikan Filipina, Br Armin A Luistro FSC, usai melakukan pertemuan dengan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) M Nuh, di Gedung Kemdiknas, Jakarta, Senin (29/11). Armin menerangkan, alasan pihaknya untuk mengadopsi sistem pendidikan madrasah Indonesia tersebut, karena negara bekas jajahan Spanyol itu sudah membuka program pendidikan madrasah. “Kami meminta saran (soal) program madrasah. Kami meminta masukan nilai-nilai Islami yang terdapat di dalam madrasah,” ujar Armin.
Menurut Armin, pembukaan program pendidikan madrasah di Filipina, dilakukan untuk mengapresiasi komunitas muslim yang ada di negaranya, walaupun saat ini jumlah orang Islam di Filipina masih minoritas. “Kami sangat berterimakasih jika mendapatkan saran dan masukan dari Indonesia. Hal itu merupakan kontribusi yang sangat bagus untuk negara kami,” terangnya.
Baca entri selengkapnya »

i

Rate This
Quantcast
Ditulis oleh Zainal Muttaqien
30 November 2010 pada 08:57

Penempatan Guru PNS di Sekolah Swasta dan Permasalahan Distribusi Guru PNS


The School of Athens - fresco by Raffaello San...
Image via Wikipedia
Pengantar
Berikut ini saya tampilkan beberapa artikel atau berita terkait persoalan penempatan guru PNS di sekolah swasta dan permasalahan distribusi guru PNS yang tidak merata antara suatu daerah dengan daerah lainnya. Kecenderungan yang kerap terjadi ialah guru lebih memilih bertugas di tempat kerja yang relatif dekat dan tidak menghendaki ditempatkan di daerah terpencil. Bahkan di kabupaten Kotabaru Kalimantan Selatan sendiri misalkan pernah terjadi CPNS guru yang ditempatkan di suatu daerah yang agak jauh belum sampai 1 bulan bertugas sudah mengurus pindah ke sekolah lain yang lebih dekat dengan alasan ini itu yang nampaknya bisa dikompromikan dengan oknum pengawas, kepala sekolah dan pejabat Dinas Pendidikan setempat dan akhirnya sang CPNS tersebut bisa beralih tempat tugas dengan mudahnya. Meski selang tidak berapa lama setelah itu keluar Surat Edaran dari Bupati mengenai larangan CPNS guru di’titip’kan di sekolah lain yang bukan tempat penugasan asalnya namun tetap saja Surat Edaran semacam itu tak digubris dan fenomena ‘titip menitip’ guru semacam itu terus terjadi. Saya tidak memvonis fenomena ini sebagai sesuatu yang negatif atau salah, namun saya kira persoalan semacam ini hendaknya bisa ditelaah secara bijaksana dan mempertimbangkan rasa serta semangat keadilan.
Persoalan lain yang memiliki relevansi dengan permasalahan di atas yakni tentang penempatan guru PNS di sekolah swasta. Saya tidak tahu persis alasan pemerintah (melalui peraturan Menpan) melarang penempatan guru PNS di sekolah swasta, namun saya kira jika kebijakan tersebut benar adanya maka hal ini menunjukkan adanya diskriminasi perlakuan dan ketidakpekaan pemerintah terhadap persoalan distribusi alokasi penempatan guru. Berikut ini saya tampilkan beberapa artikel berita yang mudah-mudahan dapat memperkaya wawasan para guru dan bermanfaat bagi para pengambil kebijakan seputar guru di daerah. Selamat menyimak…..
Baca entri selengkapnya »

i

Rate This
Quantcast
Ditulis oleh Zainal Muttaqien
28 November 2010 pada 16:49

Sertifikasi Guru


Old piano teacher at Beijing Children's Palace
Image via Wikipedia
Oleh Waras Kamdi
Fenomena kecurangan dalam pelaksanaan Sertifikasi Guru Dalam-Jabatan lewat Portofolio kian menguak apa yang sesungguhnya telah jadi rahasia umum.
Terungkapnya kasus plagiasi 1.700 guru di Riau menunjukkan sebagian kecil dari kecurangan dalam memenuhi portofolio sertifikasi guru. Banyak masyarakat yang merisaukan aneka pelanggaran itu, tetapi program sertifikasi terus saja melaju atas nama pemenuhan amanat peraturan perundang-undangan.
Kerisauan juga berkembang di kalangan pimpinan lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK), terutama yang diserahi tugas melaksanakan sertifikasi tersebut. Dalam lima tahun terakhir (2006-2009), lebih dari 500.000 guru telah diberi sertifikat oleh LPTK yang ditunjuk pemerintah (Kompas, 1/11). Namun, hingga detik ini belum ada kabar menggembirakan adanya peningkatan kinerja guru bersertifikat pendidik itu. Malahan, sertifikasi telah sempurna menyemaikan dan menyuburkan budaya jalan pintas yang amat mencederai sosok profesional guru itu sendiri.
Publik hanya tahu guru-guru bersertifikat itu buah karya LPTK. Ketika mereka gagal mewujudkan impian publik akan peningkatan mutu pendidikan di Tanah Air, LPTK-lah yang pertama akan ditagih akuntabilitasnya. Ini sungguh tagihan yang amat berat bagi LPTK yang terlibat dalam prosesi sertifikasi guru meskipun sesungguhnya sejak awal sejumlah pimpinan LPTK skeptis mengenai sertifikasi massal itu akan membuahkan hasil seperti diidealkan, yakni peningkatan mutu pendidikan.
Alih-alih, menuai kemaslahatan, kita lebih banyak menuai kemudaratan. Angka Rp 60 triliun bukan angka kecil untuk peningkatan guru (Kompas, 1/11).
Baca entri selengkapnya »

i

1 Votes
Quantcast
Ditulis oleh Zainal Muttaqien
27 November 2010 pada 08:09

10/13/2010

SANG GURU

PROBLEMATIKA SEPUTAR GURU


Profil Guru Masa Depan Pendidikan merupakan suatu rekayasa untuk mengendalikan learning guna mencapai tujuan yang direncanakan secara efektif dan efisien. Dalam proses rekayasa ini peranan "teaching" amat penting, karena merupakan kegiatan yang dilakukan oleh guru untuk mentransfer pengetahuan, keterampilan dan nilai kepada siswa sehingga apa yang ditransfer memiliki makna bagi diri sendiri, dan berguna tidak saja bagi dirinya tetapi juga bagi masyarakatnya. Mengajar hanya dapat dilakukan dengan baik dan benar oleh seseorang yang telah melewati pendidikan tertentu yang memang dirancang untuk mempersiapkan guru. Dengan kata lain, mengajar merupakan suatu profesi. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat, muncul dua kecenderungan: Pertama, proses mengajar menjadi sesuatu kegiatan yang semakin bervariasi, kompleks, dan rumit. Kedua, ada kecenderungan pemegang otoritas structural, ingin memaksakan kepada guru untuk mempergunakan suatu cara mengajar yang kompleks dan sulit. Sebagai akibat munculnya dua kecenderungan di atas, maka guru dituntut untuk menguasai berbagai metode mengajar dan diharuskan menggunakan metode tersebut. Misalnya, mengharuskan mengajar dengan CBSA. Untuk itu, guru harus dilatih dengan berbagai metode dan perilaku mengajar yang dianggap canggih. Demikian pula, di lembaga pendidikan guru, para mahasiswa diharuskan menempuh berbagai mata kuliah yang berkaitan dengan mengajar. Namun sejauh ini perkembangan mengajar yang semakin kompleks dan rumit belum memberikan dampak terhadap mutu siswa secara signifikan. Tidaklah mengherankan kalau kemudian muncul pertanyaan mengapa mengajar menjadi sedemikan kompleks dan rumit? A. Profesi mengaiar Pekerjaan profesional dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori: Hard profession dan Soft Profession. Suatu pekerjaan dapat dikategorikan sebagai hard profession apabila pekerjaan tersebut dapat didetailkan dalam perilaku dan langkah-langkah yang jelas dan relatif pasti. Pendidikan yang diperlukan bagi profesi ini adalah menghasilkan output pendidikan yang dapat distandarisasikan. Artinya, kualifikasi lulusan jelas dan seragam di manapun pendidikan itu berlangsung. Dengan kualifikasi ini seseorang sudah mampu dan akan terus mampu melaksanakan tugas profesinya secara mandiri meskipun tanpa pendidikan lagi. Pekerjaan dokter dan pilot merupakan contoh yang tepat untuk mewakili kategori hard profession. Sebaliknya, kategori soft profession adalah diperlukannya kadar seni dalam melaksanakan pekerjaan tersebut. Ciri pekerjaan tersebut tidak dapat dijabarkan secara detail dan pasti. Sebab, langkah-langkah dan tindakan yang harus diambil, sangat ditentukan oleh kondisi dan situasi tertentu. Implikasi kategori soft profession tidak menuntut pendidikan yang dapat menghasilkan lululsan dengan standar tertentu melainkan menuntut lulusan dibekali dengan kemampuan minimal. Kemampuan ini dari waktu ke waktu harus ditingkatkan agar dapat melaksanakan tugas pekerjaannya sesuai dengan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, lembaga in-service framing bagi soft-profession amat penting. Barangkali, wartawan dan advokat, merupakan contoh dari kategori profesi ini. Mengajar merupakan suatu seni untuk mentransfer pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai yang diarahkan oleh nilai-nilai pendidikan, kebutuhan-kebutuhan individu siswa, kondisi lingkungan, dan keyakinan yang dimiliki oleh guru. Dalam proses belajar mengajar, guru adalah orang yang akan mengembangkan suasana bebas bagi siswa untuk mengkaji apa yang menarik, mengekspresikan ide-ide dan kreativitasnya dalam batas norma-norma yang ditegakkan secara konsisten. Sekaligus guru akan berperan sebagai model bagi para siswa. Kebesaran jiwa, wawasan dan pengetahuan guru atas perkembangan masyarakatnya akan mengantarkan para siswa untuk dapat berpikir melewati batasbatas kekinian, berpikir untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Dalammelaksanakan tugas tersebut guru akan dihadapkan pada perbagai problem yang muncul dan sebagian besar problem tersebut harus segera dipecahkan serta diputuskan pemecahannya oteh guru itu sendiri pada waktu itu pula. Sebagai konsekuensinya, yang akan dan harus dilakukan oleh guru tidak mungkin dapat dirumuskan dalam suatu prosedur yang baku. Agar transfer tersebut dapat berlangsung dengan lancar, maka guru paling tidak harus senantiasa melakukan tiga hal: a) menggerakkan, membangkitkan dan menggabungkan seluruh kemampuan yang dimiliki siswa; b) menjadikan apa yang ditransfer menjadi sesuatu yang menantang diri siswa, sehingga muncul intrinsic-motivation untuk mempelajarinya; dan, c) mengkaji secara mendalam materi yang ditransfer sehingga menimbulkan keterkaitan dengan pengetahuan yang lain. Profesi guru adalah lebih cocok dikategorikan sebagai Soft Profession. Karena dalam mengajar guru dapat melaksanakan dengan berbagai cara yang tidak harus mengikuti suatu prosedur baku, dan aspek dan "sense" dan "art" memegang peran yang amat penting. Misalnya, mungkin saja seorang guru mengajar dengan menyajikan kesimpulan pada awal pelajaran yang kemudian baru dilaksanakan pembahasan. Pada kesempatan lain, ia mengajar dengan menyampaikan bahasan dulu baru menarik kesimpulan. Kalau dokter membedah dahulu baru kemudian membius berarti dokter tersebut melakukan malpraktek, dan pasti akan menghasilkan kecelakaan. Namun, dewasa ini pekerjaan mengajar diperlakukan sebagai hard profession, sehingga mengajar menjadi suatu proses yang sedemikian kompleks. Sebagai konsekuensinya, maka perlu disusun suatu prosedur perilaku baku dalam mengajar. Secara sadar atau tidak, proses pembakuan prosedur mengajar ini mematikan kreativitas guru. Akibat lebih jauh adalah pekerjaan mengajar bersifat inhuman, diperlakukan sebagai suatu bagian dalam proses industri, yang dapat dikendalikan dan diatur dengan serangkaian Juklak dan Juknis. Kematian kreativitas guru sebagai suatu kehilangan yang patut ditangisi. Sebab, kreativitas adalah merupakan "ruh" dalam proses belajar mengajar. B. Dimensi mengajar Proses transfer pengetahuan atau sering dikenal dengan istilah Proses Belajar Mengajar (PBM) memiliki dua dimensi. Pertama adalah aspek kegiatan siswa: Apakah kegiatan yang dilakukan siswa bersifat individual atau bersifat kelompok. Kedua, aspek orientasi guru atas kegiatan siswa: Apakah difokuskan pada individu atau kelompok. Berdasarkan dua dimensi yang masing-masing memiliki dua kutub tersebut terdapat empat model pelaksanaan PBM. Pertama, apa yang disebut Self-Study. Yakni, kegiatan siswa dilaksanakan secara individual dan orientasi guru dalam mengajar juga bersifat individu. Model pertama ini memusatkan perhatian pada diri siswa. Agar siswa dapat memusatkan perhatian perlu diarahkan oleh dirinya sendiri dan bantuan dari luar, yakni guru. Siswa harus dapat mengintegrasikan pengetahuan yang baru diterima ke dalam pengetahuan yang telah dimiliki. Untuk pelaksanaan model Self-Study ini perlu didukung dengan peralatan teknologi, seperti komputer. Keberhasilan model ini ditentukan terutama oleh kesadaran dan tanggung jawab pada diri sendiri. Kedua, apa yang dikenal dengan istilah cara mengajar tradisional. Model ini memiliki aktivitas siswa bersifat individual dan orientasi guru mengarah pada kelompok. Pada model ini kegiatan utama siswa adalah mendengar dan mencatat apa yang diceramahkan guru. Seberapa jauh siswa dapat mendengar apa yang diceramahkan guru tergantung pada ritme guru membawakan ceramah itu sendiri. Siswa akan dapat mengintegrasikan apa yang didengar ke dalam pengetahuan yang telah dimiliki apabila siswa dapat mengkaitkan pengetahuan dengan apa yang diingat. Model ini sangat sederhana, tidak memerlukan dukungan teknologi, cukup papan tulis dan kapur. Keberhasilan model ini banyak ditentukan oleh otoritas guru. Ketiga, apa yang disebut model Persaingan. Model ini memiliki aktivitas yang bersifat kelompok, tetapi orientasi guru bersifat individu. Model ini menekankan partisipasi siswa dalam kegiatan PBM, semua siswa harus aktif dalam kegiatan kelompok tersebut. Seberapa jauh siswa dapat berpartisipasi dalam kegiatan akan ditentukan oteh seberapa jauh kegiatan memiliki kebebasan dan dapat membangkitkan semangat kompetisi. Pengetahuan yang diperoleh dan dapat dihayati merupakan hasil diskusi dengan temannya. Model ini memerlukan teknologi baik berupa alat ataupun berupa manajemen seperti bentuk konferensi dan seminar. Keberhasilan model ini terutama ditentukan oleh adanya saling hormat dan saling mempercayai di antara siswa. CBSA, merupakan salah satu contohnya. Keempat, apa yang dikenal dengan istilah Model Cooperative-Collaborcitive. Model ini memiliki aktivitas siswa yang bersifat kelompok dan orientasi guru juga bersifat kelompok. Model ini menekankan kerjasama di antara para siswa, khususnya. Kegiatan siswa di arahkan untuk mencapai tujuan bersama yang telah merupakan konsensus di antara mereka. Konsensus ini didasarkan pada nilai-nilai yang dihayati bersama. Oleh karena itu, dalam kelompok akan senantiasa dikembangkan pengambilan keputusan. Kebersamaan dan kerjasama dalam pembelajaran merupakan kerjasama di antara para siswa untuk mencapai tujuan belajar bersama. Di samping tujuan bersama yang akan dicapai, kebersamaan dan kerjasama dalam pembelajaran ini juga di arahkan untuk mengembangkan kemampuan kerjasama di antara para siswa. Dengan pendekatan ini, guru tidak selalu memberikan tugas-tugas secara individual, melainkan secara kelompok. Bahkan penentuan hasil evaluasi akhirpun menggunakan prinsip kelompok. Artinya, hasil individu siswa tidak hanya didasarkan kemampuan masing-masing, tetapi juga dilihat berdasarkan hasil prestasi kelompok. Dengan demikian, siswa yang pandai akan menjadi tutor membantu siswa yang kurang pandai demi prestasi kelompok sebagai satu kesatuan. Setiap siswa tidak hanya bertanggung jawab atas kemajuan dan keberhasilan dirinya, tetapi juga bertanggung jawab atas keberhasilan dan kemajuan kelompoknya. Keempat model tersebut tidak ada yang lebih baik satu atas yang lain. Sebab modal mengajar yang baik adalah model mengajar yang cocok dengan karakteristik materi, kondisi siswa, kondisi lingkungan dan kondisi fasilitas. Di samping itu pula, di antara keempat model tersebut tidaklah bersifat saling meniadakan. Artinya, sangat mungkin dalam mengajar memadukan berbagai model tersebut di atas. Keempat model tersebut pada intinya menekankan bahwa dalam proses belajar mengajar apa yang dilaksanakan memiliki empat aspek, yakni: a) menyampaikan informasi, b) memotivasi siswa, c) mengkontrol kelas, dan, d) merubah social arrangement. C. Kemampuan yang dibutuhkan Agar dapat melaksanakan empat langkah tersebut di atas, guru hanya memerlukan tiga kemampuan dasar, yakni a) didaktik, yakni kemampuan untuk menyampaikan sesuatu secara oral atau ceramah, yang dibantu dengan buku teks, demontrasi, tes, dan alat bantu tradisional lain; b) coaching, di mana guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk berlatih dan mempraktikan keterampilannya, mengamati sejauh mana siswa mampu mempraktekkan keterampilan tersebut, serta segera memberikan umpan balik atas apa yang dilakukan siswa; dan, c) socratic atau mauitic question, di mana guru menggunakan pertanyaan pengarah untuk membantu siswa mengembangkan pandangan dan internalisasi terhadap materi yang dipelajari. Tanpa menguasai tiga kemampuan dasar tersebut, ibaratnya pemain sepakbola yang tidak memiliki kemampuan dasar bermain bola, seperti bagaimana menendang atau heading yang baik dan benar, betapapun dididik dengan gaya samba Brazil atau gerendel Italia tetap saja tidak akan dapat memenangkan pertandingan. Demikian pula untuk guru, tanpa memiliki tiga kemampuan dasar tersebut, betapapun para guru dilatih berbagai metode mengajar yang canggih tetap saja prestasi siswa tidak dapat ditingkatkan. Sebaliknya, dengan menguasai tiga kemampuan dasar tersebut, metode mengajar apapun akan dapat dilaksananakan dengan mudah oleh yang bersangkutan. Sudah barang tentu apabila guru telah menguasai dengan baik materi yang akan disampaikan. Sudah saatnya posisi mengajar diletakan kembali pada profesi yang tepat, yakni sebagai soft profession, di mana unsur art dan sense memegang peran yang amat penting. Oleh karena itu, untuk pembinaan dan pengembangan profesional kemampuan guru yang diperlukan bukannya instruksi, juklak dan juknis serta berbagai pedoman lain, yang cenderung akan mematikan kreativitas guru. Melainkan, memperbaiki dan meningkatkan tiga kemampuan dasar yang harus dimiliki guru sebagaimana tersebut di atas, serta memberikan kebebasan kepada guru untuk berinovasi dalam melaksanaakan proses belajar mengajar

NASIB GURU

rute penting